Optimalisasi Pengelolaan Zakat dengan Fintech

Oleh: Prof. Ir. M. Nadratuzzaman Hosen, MS, M.Ec, Ph.D (Pimpinan BAZNAS RI), Yudhiarma MK, M.Si, Asri Al Jufri.
JAKARTA - Zakat sebagai salah satu rukun Islam, merupakan pilar utama pembangunan tatanan ekonomi untuk menyejahterakan umat. Zakat bertujuan menegakkan keadilan sosial, mengurangi gap antara yang kaya dan miskin, mewujudkan pemerataan kemakmuran.
Meski tingkat kesejahteraan atau kepemilikan harta setiap individu tidak harus sama, namun kepedulian menjadi suatu keharusan. Melalui zakat, orang yang hidup berlebihan wajib membantu mereka yang kekurangan. Karena itu implementasi zakat harus mampu memberikan dampak sosial yang besar terutama dalam mengurangi kesenjangan sosial dan mengatasi kemiskinan.
Karena itu, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, perlu lebih mengoptimalkan pengelolaan dana zakat. Untuk mencapai manajemen zakat yang ideal, dibutuhkan inovasi secara terus-menerus sejalan dengan tuntutan masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari data, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun per tahun dan baru sekira Rp 21,6 triliun pada 2022 yang bisa dihimpun dan dikelola dengan baik. Maka kehadiran organisasi pengelola zakat (OPZ) terus berpaya menggali potensi yang sangat besar tersebut.
Antara lain dengan mengadopsi teknologi informasi, khususnya digital, yang kini mengalami perkembangan pesat. Seperti penggunaan financial technology (fintech) atau teknologi finansial di berbagai lembaga termasuk OPZ.
Dari pengalaman beberapa instansi filantropi yang telah menerapkan teknologi finansial ini, terbukti sangat membantu dalam meningkatkan kinerja manajemen, termasuk OPZ.
Fintech dapat dimaknai sebagai sebuah inovasi dalam bentuk pelayanan keuangan bagi masyarakat melalui media daring. Menurut peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, fintech dimaknai sebagai teknologi yang digunakan dalam sistem keuangan yang kemudian menghasilkan produk, layanan, teknologi, juga model bisnis baru yang dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
Fintech adalah sebuah inovasi disruptif karena dapat mengubah sistem pasar, memperkenalkan kepraktisan, kemudahan akses, kenyamanan, dengan biaya yang tidak mahal. Fintech berkembang sangat pesat di berbagai negara termasuk Indonesia.
Menurut data OJK beberapa tahun lalu, pelaku fintech RI didominasi bisnis payment sebesar 43%, sebesar 17% pinjaman, dan sisanya berbentuk crowdfunding, lending, dan sebagainya.
Berbagai produk fintech tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat dengan mudah untuk meningkatkan kegiatan perekonomiannya. Ada beberapa peran penting fintech secara umum di dalam negeri, di antaranya memenuhi kebutuhan pendanaan masyarakat, mendorong dan memberikan pemerataan distribusi pembiayaan ke ribuan pulau di Indonesia. Sehingga dalam hal ini cakupan yang dibawa oleh fintech sangat luas.
Kemudian, kontribusi untuk meningkatkan inklusi keuangan Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi, mendorong tingkat kesejahteraan penduduk karena dapat memanfaatkan layanan produk dan keuangan lebih mudah dan menyeluruh.
Pada dasarnya fintech merupakan kegiatan muamalah. Selama tidak bertentangan dengan syariah maka diperbolehkan. Meski demikian, terdapat beberapa prinsip dalam muamalah untuk tercapainya kemaslahatan bersama. Yaitu di antaranya melakukan transaksi dengan dasar rela sama rela antarkedua pihak, mengedepankan keadilan dalam pembagian keuntungan, menjauhi riba, menerapkan kasih sayang dan tolong-menolong, menjauhi hal-hal yang diharamkan, menghindari gharar, tadlis, spekulasi, dan maysir, tidak melupakan shalat dan zakat, wajib ada pencatatan baik tunai maupun utang piutang.
Dengan menerapkan fintech maka proses pengelolaan zakat bisa lebih cepat, baik segi pengumpulan, pengelolaan maupun penyaluran, serta mengurangi biaya operasional. Dengan pola kerja digital, tentu akan lebih akurat dan terhindar dari kesalahan. Dengan data yang terintegrasi, pengawasan menjadi lebih mudah, menghemat biaya audit, proses pelaporan secara real time. Pendistribusian zakat dapat lebih luas dan merata, tidak hanya menumpuk pada daerah atau mustahik tertentu.
Sebagai lembaga pemerintah nonstruktural, BAZNAS telah lama melakukan kerja sama dengan perusahaan fintech dalam membuat aplikasi zakat berbasis teknologi yang diluncurkan pada tahun 2018 lalu. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya digitalisasi pengelolaan zakat. BAZNAS telah menerapkan sistem digital fundraising strategy melalui beberapa platform komersial dan platform nonkomersial seperti aplikasi crowfunding dan payment point, innovative platform, media sosial dan artificial intelligence.
Ke depan, perlu terus dilakukan sosialisasi kepada masyarakat, baik menyangkut kemudahan berzakat dengan fintech sebagai pilar pembangunan ekonomi, juga sosialisasi terkait digitalisasi pengelolaan zakat melalui teknologi finansial ini.
Kesiapan lain, yaitu menyangkut regulasi pemerintah dan otoritas terkait. Berbagai peraturan perlu disiapkan, sehingga tercipta kepastian hukum sekaligus menghindari dampak negatif yang akan timbul. Tidak tertutup kemungkinan, kecanggihan teknologi juga diikuti kemahiran dalam penyalahgunaannya berupa penipuan, dan lain-lain.
Kemajuan teknologi merupakan keniscayaan yang sudah tak bisa dihindari termasuk dalam bermuamalah berupa amal sosial seperti pelaksanaan zakat ini. Optimalisasi manfaat, transparansi, efisiensi, pertanggung jawaban, dan sebagainya, merupakan nilai-nilai positif yang juga sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. (sm/red)
Tulis Komentar