Monolog Halte dan Kobaran Api Demonstrasi

Oleh: Yudhiarma MK.

JAKARTA RAYA - Di antara deru jalan dan napas kota, aku berdiri tanpa nama, hanya sebuah halte yang menampung penantian.

Tubuhku dari baja dan kaca, bukan unjuk kegagahan, melainkan untuk melindungi mereka yang lelah, yang menunggu angkutan murah menuju hidup yang tak pernah mudah.

Aku hadir untuk wajah-wajah kusam yang membawa bekal seadanya, untuk seragam abu-abu para pelajar yang tak punya kendaraan, untuk buruh yang pulang larut dengan upah yang nyaris tak cukup untuk membeli makan.

Aku berdiri bagi mereka, bukan bagi istana, bukan bagi pesta.

Aku adalah rumah singgah sementara, bagi rakyat kecil yang selalu tergesa.

Namun pada hari itu, api menyalak di tubuhku. Amarah massa menjelma nyala yang menggerogoti kaca, membakar kursi, melumat papan petunjuk arah.

Aku mendengar mereka berteriak dan menjerit histeris, bukan padaku, melainkan pada nasib yang mencengkram tengkuk.

Aku tahu, aku bukan musuh mereka.

Aku tahu, mereka marah pada ketidakadilan yang kian menggunung hingga meletupkan lahar nan penuh asap berkobar.

Tapi apiku terus membakar, dan aku hanya bisa menangis.

Sebab dalam kehancuran tubuh, aku kehilangan fungsi. Aku tak bisa lagi menaungi seorang ayah yang berangkat pagi demi upah yang rendah.

Aku tak bisa lagi melindungi seorang anak sekolah dari hujan deras ketika menunggu bus yang datang terlambat.

Aku tak bisa lagi menjadi sandaran bagi seorang ibu yang menahan kantuk di malam hari setelah membersihkan rumah orang lain.

Aku menangis lebih dalam, ketika kulihat pekerja dengan gaji yang hanya cukup untuk membeli sekardus mi,  harus kembali berjalan jauh; ketika anak sekolah harus berteduh di bawah pohon, ketika supir kehilangan persinggahan bagi penumpangnya.

Aku terbakar bersama harapan-harapan kecil yang biasa kutampung. Aku mati dalam api yang tak pernah hadir dalam mimpi.

Aku mengerti luka para demonstran.

Aku mengerti darah yang tumpah di jalanan.

Aku mengerti tubuh-tubuh yang dipukul dengan pentungan dan gas air mata.

Aku mengerti kemarahan yang tumbuh karena negeri ini terlalu lama berpihak pada segelintir, dan lupa pada yang banyak.

Aku berempati. Aku pun bersimpati. Namun aku lebih menangis, karena kini tak lagi bisa melayani.

Aku hangus, aku menjadi abu, aku tak bisa kembali dengan segera.

Aku sadar, untuk menghidupkanku lagi, dibutuhkan waktu, dana, dan birokrasi yang seringkali lupa bahwa aku ada untuk kaum dhuafa.

Kini aku hanya monumen luka, arang yang tertinggal di tepi jalan.

Aku pernah ada untuk rakyat kecil, lalu hilang dalam kobaran yang menyala sesaat.

Dan dari dalam abu, aku hanya bisa berbisik pelan, dengan suara yang tak terdengar siapa-siapa: maafkan aku yang telah mati, tak bisa lagi melayani. (*)