SinggalangNews.com, Jakarta - Permasalahan sampah di Indonesia pada 2020 telah mencapai 67,8 juta ton per tahun. Diperkirakan akan meningkat 5% setiap tahunnya, dari jumlah ini, 15%-nya adalah sampah plastik. Khusus di pulau Jawa, tercatat 88,17% sampah plastik masih diangkut ke TPA atau berserakan di lingkungan.
Pemerintah menargetkan angka pengurangan sampah hingga 30% tahun 2025 mendatang. Dicanangkan berbagai regulasi dan gerakan yang menegaskan pentingnya kolaborasi dari seluruh pihak untuk ikut andil mengurai permasalahan sampah.
Dalam hal tersebut, PT Unilever Indonesia, Tbk. menggandeng pakar di bidang ilmu sosial untuk menggali lebih dalam dan mencari solusi permasalahan sampah plastik dari berbagai kajian humaniora melalui diskusi bertajuk “Plastik dan Evolusi Perilaku Manusia”.
Sejalan dengan gerakan #GenerasiPilahPlastik dari Unilever Indonesia, acara ini bertujuan untuk menggerakan semua pihak, termasuk masyarakat luas untuk turut melakukan aksi nyata, dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat mereka.
Diungkapkan oleh Erik Armundito, S.T., M.T., Ph.D, Perencana Madya pada Direktorat Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), “Peran individu dan masyarakat sangat penting untuk mewujudkan target nasional penanggulangan sampah, termasuk sampah plastik."
Lima hal terkait penanganan dan pengelolaan sampah yang menjadi kunci agar terjadi perubahan sosial dan perilaku masyarakat pertama, peraturan perundangan dan turunannya, yang mengatur tentang pengelolaan dan pengolahan sampah mulai dari hulu sampai hilir.
Kedua, peningkatan pemahaman terhadap masyarakat, bisa melalui sosialisasi, pendampingan, kampanye pelatihan, hingga datang ke sekolah-sekolah. Yang ketiga, tokoh panutan, yaitu mereka yang memiliki komitmen terhadap pengelolaan sampah, bisa jadi pejabat, wakil rakyat, tokoh agama, tokoh masyarakat, ataupun dari public figure.
Keempat, penyediaan fasilitas-fasilitas pengelolaan sampah, dan Kelima terpenting, penegakan hukum. Poin tersebut sudah dalam rencana pembangunan jangka menengah. Tahun 2020-2024 juga sudah masuk di rencana pembangunan nasional jangka panjang. Dalam merealisasikannya, tentunya kolaborasi bersama seluruh pihak, termasuk pihak produsen dan konsumen, sangat dibutuhkan.
“Merupakan tanggung jawab dan komitmen jangka panjang kami untuk turut membantu mengatasi permasalahan sampah, terutama sampah plastik di Indonesia. Kami percaya bahwa plastik memiliki tempatnya di dalam ekonomi, tetapi tidak di lingkungan kita," kata Maya Tamimi, Head of Sustainable Environment Unilever Indonesia Foundation, pada webinar permasalahan sampah plastik, Selasa (16/11/2021).
Hal ini sejalan dengan komitmen global bahwa selambatnya tahun 2025, Unilever melakukan (1) Mengurangi setengah dari penggunaan plastik baru, (2) Mendesain 100% kemasan plastik produknya agar dapat didaur ulang, digunakan kembali atau dapat terubah menjadi kompos, dan (3) Membantu mengumpulkan dan memroses kemasan plastik lebih banyak daripada yang dijual.”
Unilever Indonesia telah menerapkan upaya dari hulu ke hilir, mulai dari mendesain produknya hingga ke paska penggunaan kemasan oleh konsumen. “Edukasi ke masyarakat dan khususnya konsumen menjadi salah satu fokus yang kami lakukan. Baru-baru ini kami meluncurkan gerakan #GenerasiPilahPlastik mengajak masyarakat lebih peduli lingkungan dan bertanggung jawab terhadap kemasan plastik.
Untuk mencapai solusi tersebut Unilever Indonesia menggelar diskusi mendalam bersama para pakar di bidang ilmu sosisal untuk menyoroti permasalahan ini lebih mendalam, sehingga kita bisa sama-sama memetakan kaitan permasalahan sampah plastik dengan perilaku manusia, serta mendiskusikan solusinya, ungkapnya.
Masyarakat memiliki peran sangat penting. Berdasarkan data, 37,3% dari sampah yang terkumpul pada 2020 berasal dari sampah rumah tangga. Bahkan dari 175.000 ton sampah yang dihasilkan Indonesia per harinya, didominasi hingga 60% oleh sampah rumah tangga.
Diskusi “Plastik dan Evolusi Perilaku Manusia” menyoroti inti dari permasalahan sampah plastik. Plastik sendiri ditemukan Lebih dari 100 tahun lalu, dan disambut oleh warga dunia dengan suka cita. Namun seiring waktu, plastik semakin mendominasi kehidupan, berbagai permasalahan mulai muncul.
Padahal, permasalahan plastik bukan hanya terletak pada eksistensi dari plastiknya, melainkan pengelolaan yang kurang baik, yang diperburuk dengan perilaku manusia yang selama ratusan tahun terbiasa membuang sampah.
Dipaparkan Dr. Yosefina Anggraini, S.Sos, M.Si., Antropolog dan Pengajar LPEM FEB UI, bahwa perilaku masyarakat terhadap sampah dapat dipahami melalui pendekatan materialisme budaya dari Marvin Harris. Pendekatan ini memandang bahwa kebudayaan merupakan produk hubungan antara benda-benda, dimana manusia menciptakan kebudayaan tertentu karena dianggap sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya.
Dalam prosesnya, setiap kelompok masyarakat memiliki siasat untuk menghadapi berbagai tekanan geografis dan ancaman lingkungan (environment determinism) sebagai bentuk strategi adaptasi.
Sementara dari sisi sosiologi, penanaman kesadaran kolektif untuk bijak sampah plastik sebenarnya dapat dilakukan melalui banyak pendekatan, seperti regulatif, insentif, dan lainnya. Namun semuanya harus diawali dengan membangun kultur bijak, yaitu kesadaran individual untuk mengubah persepsi mengenai sampah plastik.
Sementara ditanggapi Dr. Arie Sujito, S.Sos, M.Si., Sosiolog dan Pengajar FISIPOL Universitas Gadjah Mada, kemampuan mengelola sampah dan menjaga kelestarian lingkungan adalah penanda peradaban, dan inilah yang menjadi tantangan kita bersama. Masyarakat harus terlebih dahulu mengubah persepsi mengenai lingkungan, bahwa lingkungan harus dijaga agar kualitas kehidupan tetap baik untuk masa kini dan masa mendatang.
Hal ini berhubungan pula dengan cara kita memandang sampah plastik sebagai bagian dari masalah lingkungan, bahwa sampah plastik dapat mengutungkan, dari keseharian yang jika mampu dikelola dan dikendalikan akan meningkatkan taraf kualitas hidup, tegasnya.
Pandangan ini sejalan dengan kajian perilaku seseorang dalam ilmu psikologis. Mereka yang masih tidak memiliki kepedulian terhadap sampah umumnya kurang memiliki empati atau apatis, akibat rasa denial dan ketidaknyamanan untuk mengakui bahwa permasalahan sampah adalah hal yang nyata dan mengancam kehidupan mereka.
Tara de Thouars, BA, M. Psi., Psikolog Klinis menjelaskan, “Jadi, perilaku peduli terhadap masalah sampah adalah pilihan yang sangat subyektif. Pertama perlu ditanamkan kesadaran, bertanggung jawab terhadap sampah adalah langkah kebaikan sederhana namun berdampak besar."
Untuk memiliki kesadaran, perlu dimulai dengan adanya sense of purpose karena seseorang baru akan termotivasi jika apa yang dilakukannya memiliki tujuan dan arti. Lebih bijak mengelola sampah bisa menjadi salah satu bentuk sense of purpose bahwa mereka sudah berhasil mewujudkan purpose yang positif bagi diri dan lingkungannya.
Berharap diskusi ini semakin mempererat sinergi berbagai pihak, baik produsen, pemerintah, akademisi, praktisi dan juga konsumen untuk sama-sama berbagi peran membantu permasalahan sampah di Indonesia.
Kami sadar dibutuhkan komitmen dan waktu yang panjang untuk bisa menyelasikan permasalahan sampah tersebut, untuk itu #MariBerbagiPeran tempatkan plastik di tempatnya, dalam ekonomi, dan tidak di lingkungan kita, pungkas Maya. (sm_r)
Komentar Anda :